RSS

Jurnal Pendidikan Islam

Penulis : M. Khojir
Judul   : Peningkatan Kualitas Madrasah
(Upaya Alternatif Meningkatkan Kualitas Madrasah Dengan Pendekatan TQM)
Jurnal   : Dinamika Ilmu (Jurnal Kependidikan)
Vol.     : VI No. 2 Desember 2006
 Hal. 151-164

PENINGKATAN KUALITAS MADRASAH
(Upaya Alternatif Meningkatkan Kualitas Madrasah Dengan Pendekatan TQM)
Oleh: Khojir*

   Abstract: the quality of islamic education at madrasah is still far from good. No wonder many still consider madrasah as the second option for school. To deal with this, madrasah’s stockholders need to consolidate resources and employ strategic plans to improve its quality. This article proposes TQM (Total Quality Management), a breakthrough in management science, as a viable approach. Madrasah has to design the strategic plans pursuant to TQM, namely: sharpening its vision, mission, and goals; objectively analyzing its stakeholders; meticulously analyzing its SWOT; determining its quality standard;effectively investing in human resources, and evaluating process. There for techniques shall be applied by madrasah in designing quality development program: school review; benchmarketing; quality assurance and quality control.

Kata Kunci: Kualitas, Madrasah, Total Quality Management.

PENDAHULUAN
            Memasuki Abad XXI atau milenium ketiga, dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai persoalan yang sangat rumit. Kalau kondisi semacan ini tidak segera diatasi dan direspon dengan cepat tidak menutup kemungkinan dunia pendidikan akan ketinggalan zaman. Tidak bisa terlepas dari persoalan tersebut adalah lemabaga pendidikan yang menjadi binaan departemen yaitu “madrasah”. Departemen agama harus menyadari bahwa banyak hal di lingkungannya yang perlu dibenahi dengan segera, mulai merencanakan berbagai langkah strategis sampai pada peningkatan kualitas. Upaya perbaikan disektor ini perlu diprioritaskan. Hal ini disebabkan banyak masyarakat luas banyak menyoroti kenyataan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di bawah binaan Departemen Agama semakin ketinggalan kereta.
            Masyarakat Inodesia adalah masyarakat yang semakin kritis dan mampu menentukan pilihan secara selektif. Meskipun tetap disesuaikan dengan kemampuan finansial: namun mereka akan berusaha mencari sekolah yang berkualitas. Tidak heran sering kita dengar beberapa sekolah swasta yang kurang berkualitas “gulung tikar” karena minimnya anomi masyarakat memasukinya.
            Harus diakui, saat ini masyarakat menganggap madrasah sebagai pilihan kedua. Dalam hal ini paling tidak ada beberapa alasan mengapa image masyarakat negatif terhadap madrasah:
1.      Alumni madrasah pada umunya belum menunjukkan prestasi yang baik.
2.      madrasah adalah lembaga pendidikan yang masuk pada jalur pendidikan sekolah, yang berciri khas islam.
3.      sekitar 85% madrasah dikelola oleh masyarakat, tidak secara keseluruhan masyarakat dalam mengelola pendidikan memenuhi standar minimal, bahkan bisa dikatakan masih sangat terbatas masyarakat dalam mengelola pendidikan tersebut memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan.
Oleh karena itu madrasah harus bangkit untk mengejar ketertinggalan.

KONSEP KUALITAS PENDIDIKAN
            Kualitas bukan hanya merupakan suatu inisiatif, melainkan suatu filosofi da metodologi yang membantu lembaga untuk mengelola perubahan dan peningkatan secara totalitas dan sistematik.
            Untuk menghindari kekaburan konsep kualitas, maka perlu dibahas terlebih dahulu pengertian kualitas ditinjau dengan pendekatan TQM atau lebih akrab disebut dengan manajemen terpadu. Kualitas dalam hal ini paling tidak harus memenuhi 2 aspek yaitu:
1.      pengukuran berdasarkan spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.      memenuhi kebutuhan dan tuntutan pelanggan.
Standar yang dipakai dalam aspek yang pertama adalah standar produksi dan pelayanan yaitu:
    1. Sesuai denagn spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
    2. Sesuai dengan tujuan pembuatan dan kegunaan.
    3. Tanpa kesalahan.
    4. Bebas dari kesalahan sejak awal.
Dalam aspek kedua yang dipakai adalah standar pelanggan yaitu:
  1. Kepuasan pelanggan.
  2. Meningkatkan minat dan harapan pelanggan.
  3. Menyenangkan pelanggan.
Kualitas bukanlah merupakan titik akhir, melainkan sebagai sarana agar barang dan jasa tersebut berda di atas standar. Dalam dunia pendidikan dewasa ini dikenal dengan standar kompetensi dasar atau kualifikasi akademik.
Program peningkatan kualitas madrasah dapat melaksanakan dengan 4 tehnik yaitu:
  1. School review (audit secara menyeluruh)
  2. Quality control.
  3. Quality assurance.
  4. Benchmarking( patok pagu).
Di samping keempat tehnik di atas para pengelola madrasah selayaknya mengetahui dan memahami secara mendalam perbedaan atau ciri-ciri institusi yang berkualitas dengan institusi yang tidak bekualitas.

PERENCANAAN STRATEGI MADRASAH
            Pada umumnya upaya pengembangan madrasah saat ini lebih bersifat parsial dan jangka pendek. Sehingga kesan tambal sulam tak dapat dihinadari. Saat ini kebutuhan akan dilakukan perencanaan strategis tampaknya sudah tiadak dapat ditawar-tawar lagi. Proses perencanan strategis pendidikan (madrasah) dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
            Pertama, perumusan visi, misi dan tujuan pendidikan. Misi merupakan tindakan nyata dalam mencapai visi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perumusan misi:
1)      Harus mudah diingat.
2)      Harus mudah dikomunikasikan.
3)      Sifat dasar lembaga harus jelas.
4)      Harus ada komitmen dalam peningkatan kualitas.
5)      Harus berupa statmen mencapai tujuan.
6)      Harus berfokus pada pelanggan.
7)      Harus fleksibel.
Kedua, menganalisis kabutuhan pelanggan terutama calon peserta didik. Hal-hal yang perlu dianalisis adalah:
1.      siapa yang akan masuk ke madrasah?
2.      apa yang diharapkan oleh peserta didik?
3.      apa yang harus dilakukan oleh madrasah dalam rangka memenuhi harapan peserta didiknya?
4.      apa yang dibutuhkan peserta didik terhadap madrasah?
5.      metode apa yang dibutuhkan untuk mengidentifikasikan kebutuhan peserta didik?
Ketiga, analisis obyektif madrasah. Dalam hal ini pengelola madrasah harus menganalisis secara obyektif tentang kekuatan, kelemahan peluang dan ancaman. Atau dengan bahasa lain harus melakukan analisis SWOT. Dalam penggunaan analisis SWOT sebenarnya cukup rumit dan terdiri dari berbagai model. Salah satu model analisis SWOT yang merupakan rangkuman dari berbagai model, menghasilkan 4 issu strategis sebagai hasil kontak antara faktor-faktor eksternal dan faktor-faktor internal, keempat issu strategis itu adalah:
  1. comperatif advantage (keunggulan komparatif).
  2. mobilization (mobilisasi).
  3. invesment/divesment.
  4. demage control (terjadi kontak antara kelemahan internal dengan ancaman eksternal)
Keempat, adanya konsep yang jelas tentang kualitas
Kalima, investasi sumber daya manusia. Pengelola harus berinvestasi pada sumber daya madrasah dengan berbagai macam bentuk pelatihan dan pengembangannya.
Keenam, evaluasi proses. Evaluasi bagi institusi merupakan kata kunci dalam perencanaan strategis.


KESIMPULAN
            Kualitas adalah suatu yang sangat penting dalam kelangsungan madrasah. Banyak di antara madrasah-madrasah yang gulung tikar karena tidak mendapatkan peserta didik. Oleh karena itu madrasah harus menentukan standar kualitas dengan jelas. Memang masalah peningkatan kualitas madrasah/pendidikan banyak variabel yang ikut mempengaruhi, akan tetapi dengan pendekatan TQM adalah trobosan baru dalam dunia pendidikan untuk menghadapi persaingan global.

OPINI PENULIS
            Dari kedua jurnal yang telah saya riview, keduanya sangat baik dalam mengatasi permasalahan yang sedang terjadi sekarang. Dan kedua jurnal memaparkan bahwa penyebab yang paling utama dari kemunduran lembaga-lembaga pendidikan islam terutama madrasah yaitu sistem yang terdapat pada madrasah tersebut, ketidak jelasan pada kurikulum yang dipakai, visi, misi, serta tujuan. Dengan demikian pada masing-masing jurnal juga telah di berikan solusi bagi tiap-tiap masalah yang sedang diahapi. Menurut saya upaya untuk memajukan atau meningkatkan kualitas pada lembaga-lembaga pendidikan islam, alangkah baiknya semua solusi dari kedu jurnal, seperti pembaharuan pada sistem, kurikulum, metode, tujuan, visi, misi dan lain sebagainya, dikorelasikan. Dengan demikian akan tercipta madrasah unggulan yang sangat dicari-cari masyarakat pada umumnya. Karena terdapat kelebihan pada tiap-tiap solusi dari kedua jurnal tersebut. Misalnya, pada jurnal I telah dituliskan bahwa dengan memperhatikan: pertama, partisipasi masyarakat islam terbuka untuk mengembanngkan madrasah, baik dari segi dana, tenaga, bantuan manajemen pendidikan, kerjasama antara lembaga keagamaan dengan madrasah. Kedua, proses belajar mengajar memperhatikan pengembangan nilai-nilai universal agama seperti: tanggung jawab, berakhlak mulia, mandiri, berkepribadian. Ketiga, manajemen madrasah harus memilki tipe madrasah yang tinggi dengan tolak ukurnya pada: kepala madrasah dan guru dipilih karena meiliki ketrampilan, partisi masyarakat besar dan dana,  dana tak tergantung pada pemerintah, tapi dari masyarakat, NEM siswa setelah menempuh studi berpredikat tinggi. Keempat, kurikulum yang dipergunakan di madrasah seharusnya memperhatikan kepentingan masyarakat islam dengan tidak menghilangkan substansi ajaran islam. Kelima, medrasah memiliki visi dan misi untuk pengembangan nilai ajaran islam yang suci yang ditanamkan kepada diri anak didik. Maka akan tercipta madrasah unggulan, kemudian pada jurnal ke-2 dituliskan: banyak hal yang mempengaruhi terciptanya madrasah unggulan, akan tetapi dengan pendekatan TQM merupakan satu trobosan baru dalam dunia pendidikan untuk mengahadapi persaingan global.
            Denagn demikian tampak jelas kelebihan masing-masing dan sangat baik apabila solusi-solusi di atas dikorelasikan, karena pada jurnal pertama lebih cenderung pada perbaikan atau pembaruan pada sistem, visi, misi, tujuan, kurikulum, dan lain sebagainya. Sedangkan pada jurnal kedua lebih cenderung pada menciptakan hal baru seperti pendekatan TQM, setelah semua seperti visi, misi, dan lain-lainnya dibenahi.

Cari Tau Apakah Dia Menyukai Anda?



(C) shutterstock
Vemale.com - Sudah kenal lama, sering hang out berdua, dan berkomunikasi secara intensif namun ladies masih ragu-ragu apakah si dia menyukai anda atau tidak? Jangan galau dulu, ladies. Anda bisa mengetahui apakah orang yang dekat dengan anda benar-benar menyukai anda dari tanda-tanda yang ditunjukkannya.
Seperti dikutip dari laman youqueen.com, berikut ini adalah tanda-tanda bahwa si dia menyukai anda.
Tanda yang pertama yang perlu ladies notice adalah si dia proaktif bertanya kepada anda tentang banyak hal, meskipun terdengar tidak nyambung. Hal ini dilakukannya agar percakapan di antara ladies dan dia terus berlanjut.
Hal kedua yang menjadi tanda bahwa dia menyukai anda adalah dia menemukan hal-hal yang sama dengan anda. Misalnya hobi, penyanyi favorit, genre film kesukaan, atau hal-hal lainnya. Kesamaan ini digunakan untuk menarik perhatian anda dan membuat anda suka kepadanya.
Next sign, dia bertingkah aneh ketika berada di depan anda. Hal ini bisa ladies perhatikan ketika dia berada di sekitar anda dan sekitar orang-orang terdekatnya. Jika ketika bersama anda dia terlihat seperti “tidak biasa” dan berusaha untuk menarik perhatian anda, he is into you for sure!
Tanda lain yang juga mungkin ditunjukkan oleh si dia yang menyukai anda adalah dia tidak memperhatikan anda. Strategi “play it cool” ini sering dilakukan oleh para pria yang memiliki sifat pemalu dan belum memiliki keberanian untuk menunjukkan perasaannya kepada anda.
Sign yang juga diperlihatkan oleh pria yang tertarik kepada anda adalah si dia mengikuti semua akun jejaring sosial yang anda miliki, misalnya Facebook, Path, dan Instagram anda. Mengikuti akun jejaring sosial anda menunjukkan bahwa dia ingin mengetahui tentang anda lebih jauh lagi. Terlebih lagi jika dia sering like status atau meninggalkan komen di jejaring sosial anda, he likes you!
Tanda lain yang akan menunjukkan apakah dia menyukai anda atau tidak adalah eye contact. Jika dia memandang ladies dengan cermat ketika anda berbicara kepadanya, kemungkinan besar dia menyukai anda.
Selain dari mata, anda juga bisa mengetahui apakah dia menyukai anda dari senyumnya. Jika dia sering melempar senyum, terutama saat tidak ada hal lucu, anda boleh percaya diri bahwa dia memiliki perasaan lebih kepada anda.
Tanda lain yang akan mengungkapkan apakah dia menyukai anda adalah dia akan menanyakan apakah anda “available” atau tidak. Pertanyaan ini tentunya tidak harus ditanyakan secara langsung dan tersurat; si dia mungkin memakai pertanyaan lain yang menyiratkan apakah anda memiliki kekasih atau tidak.
Oleh: Pravianti

Pendidikan islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab

Judul Buku :
Pendidikan islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab
Penulis : Dr Adian Husaini Perwajahan Isi & Penata Letak : Masrukhin
Desain Sampul & Illustrasi : Abdullah
Diterbitkan oleh :
Program Studi Pendidikan Islam,
Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun
Bekerjasama dengan :
Cakrawala Publishing
Jl. Palem Raya No. 57 Jakarta 12260 Telp. (021) 7060 2394, 585 3238 Fax. (021) 586 1326
website : http://www.penerbitcakrawala.com e-mail : info@penerbitcakrawala.com
cakrawala _publish@yahoo.com
BAB I
AD-DINUL ISLAM:
A. Landasan Pendidikan Islam
“Pendidikan Islam dikatakan sejumlah cendekiawan ialah gagasan tentang konsep Islam sebagai makna “generik”. Bahwa, Islam harus dipahami dalam makna bahasa, yakni sikap tunduk dan patuh. Siapa pun yang tunduk dan patuh, dapat disebut Muslim, meskipun secara formal dia bukan beragama Islam. Kata, aslama-yuslimu, islaman, memang bermakna “tunduk dan patuh”. Ini tidak bias dibenarkan, karena nistilah dalam Islam memiliki dua makna, bisa makna bahasa (lughatan) dan makna teknis (istilahan). Yaitu menurut al-Attas, pandangan alam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth), atau pandangan Islam mengenai eksistensi (ru’yat al-Islam lil wujud). Al-Attas menegaskan, bahwa pandangan hidup Islam bersifat fial dan telah dewasa sejak lahir. Islam tidak memerlukan proses ’pertumbuhan’ menuju kedewasaan mengikuti proses perkembangan sejarah. Jadi, karakteristik pandangan hidup Islam adalah sifatnya yang fial dan otentik sejak awal.
B. Islam: satu-satunya agama wahyu
Sebagai agama wahyu, Islam memiliki berbagai karakter khas:
a) Pertama, diantara agama-agama yang ada, Islam adalah agama yang namanya secara khusus disebutkan dalam Kitab Sucinya. Nama agama-agama selain Islam diberikan oleh para pengamat keagamaan atau oleh manusia, seperti agama Yahudi (Judaisme), agama Katolik (Katolikisme), agama Protestan (Protestantisme), agama Budha (Budhisme), agama Hindu (Hinduisme), agama Konghucu (Konfusianisme), dan sebagainya. Sedangkan Islam tidaklah demikian. Nama Islam, sebagai nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd saw, sudah disebutkan ada dalam al-Quran:
”Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam.” (QS 3:19). ”Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS 3:85).
b) Kedua, dalam soal nama dan konsep Tuhan. Sebagaimana konsep Islamic worldview yang ditandai dengan karakteristiknya yang otentik dan fial, maka konsep Islam tentang Tuhan, menurut Prof. Naquib al-Attas, juga bersifat otentik dan fial. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam al-Quran yang juga bersifat otentik dan fial. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain. Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS al-Ikhlas). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: “La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah” — Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Syahadat Islam ini juga bersifat fial dan tidak mengalami perubahan sejak zaman Rasulullah saw sampai Hari Kiamat. Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep ’Tuhan’.
c) Ketiga, karakteristik Islam sebagai agama wahyu bisa dilihat dari tata cara ibadah/ritual dalam Islam yang semuanya berdasarkan pada al-wahyu (al-Quran dan sunnah). Karena keotentikan wahyu dalam Islam, maka Islam juga memiliki konsep ibadah yang fial dan otentik, tetap sepanjang zaman, dan tidak berubah-ubah mengikuti dinamika perkembangan zaman. Islam memiliki ibadah yang satu, yang melintasi zaman dan tempat. Kapan pun dan di mana pun, umat Islam melakukan shalat, puasa, haji, zakat, dengan cara yang sama, dan tidak tergantung pada kondisi waktu dan tempat.
d) Keempat, konsep Islam sebagai agama otentik dan fial dapat terjadi karena konsep wahyu dalam Islam adalah bersifat fial. Al-Quran terjaga lafaz, makna, dan bacaannya dari zaman ke zaman. Konsep teks wahyu dalam Islam yang ’lafzhan wa ma’nan minallah’ ini sangat berbeda dengan konsep Bibel yang diakui sebagai teks manusiawi dan teks sejarah sehingga memungkinkan ditafsirkan berdasarkan konteks sosial-historis, yang menyebabkan kaum Yahudi/Kristen memiliki konsep hukum yang dinamis dan berubah dari zaman ke zaman. Konsep wahyu yang otentik dan fial yang lafzhan wa ma’nan minallah tidak memungkinkan alQuran menerima model penafsiran hermeneutis ala Bibel yang menghasilkan kerelativan hukum Islam.
Nabi Muhammad adalah contoh, teladan yang mulia, teladan yang lengkap bagi seorang Muslim. Dalam bidang pendidikan, Nabi Muhammad saw telah membuktikan dirinya sebagai pendidik yang sempurna. Beliau berhasil manusia-manusia hebat yang terkumpul dalam satu generasi dan berhimpun dalam masyarakat yang sangat mulia. Masyarakat Madinah, bentukan Rasulullah saw, adalah masyarakat yang haus ilmu, masyarakat yang cinta pengorbanan, dan masyarakat yang rindu akan ibadah. Di tengah masyarakat seperti inilah, berbagai contoh kehidupan yang baik bisa diaplikasikan. Tradisi ilmu berkembang dengan baik; akhlak diterapkan, bukan hanya diajarkan; pendidikan karakter yang baik sudah menjadi tradisi yang mengakar, sehingga budaya minuman keras yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Arab bisa dengan sangat singkat diberantas.
C. Keliru konsep
Para guru dan orang tua perlu berhati-hati dalam mengajarkan tentang konsep Islam dan konsep agama-agama kepada murid atau anak-anaknya. Hati-hati juga jika membeli buku. Bisa jadi sebagian isinya benar dan sebagian isinya yang lain keluru. Contoh buku seperti ini adalah sebuah buku berjudul Ensiklopedi Islam untuk Pelajar. Pemimpin redaksi penulisan buku ini adalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid, dengan Redaktur Pelaksananya Budhy Munawar Rachman dan Ihsan Ali Fauzi.
Meskipun penampilannya menarik, Ensiklopedi ini perlu dikritisi. Misalnya, dalam pembahasan tentang agama (Jilid I, hal.23), dikatakan bahwa ada teori lain tentang agama yang menyatakan, bahwa agama asli dan tertua adalah monoteisme, yang berasal dari wahyu Tuhan. Sejak zaman Nabi Adam a.s. manusia telah menganut monoteisme. Dinamisme, animisme, totemisme, politeisme, dan bentuk lainnya adalah penyelewengan dari monoteisme. Teori monoteisme ini dianut oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam.
Disamping itu, ada unsur manipulasi yang sangat tidak etis dengan menyebut, bahwa menurut para mufassir, ahlul kitab meliputi kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Sabi’in. Dan kini, sebutan itu diperluas hingga mencakup agama Buddha, Hindu, Taoisme, dan Kong Hu Cu. Penulis Ensiklopedi ini tidak menyebut, mufassir mana yang memiliki pendapat seperti itu. Padahal, pendapat yang melebarkan makna ahlulkitab selain untuk Yahudi dan Kristen adalah pendapat yang lemah, dan hanya sebagian kecil mufassir yang berpendapat seperti itu. Pendapat ini sudah begitu banyak dikritik oleh para ulama.
Jadi, apakah umat Islam bebas menjalankan agamanya di masa Kemal Ataturk, atau masa dinasti lainnya ? sebagaimana ditulis oleh Ensiklopedi ini? Jelas itu tidak benar!
Demikianlah telaah tentang isi ”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar” yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya. Sangat disayangkan, buku ini mengandung banyak informasi yang keliru dan mengelirukan tentang Islam. Jika memahami Islam saja sudah keliru, maka pemehaman tentang pendidikan Islam pasti juga keliru. Sebab, konsep pendidikan Islam pasti didasarkan pada Islam. Itulah pentingnya memahami Islam dengan benar agar pendidikan Islam menjadi benar, dan menghasilkan produk pendidikan yang benar juga.


 
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER SAJA, TIDAK CUKUP!
“Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some axtent a gift.Good character, by contranst, is not given to us. We have to build it peace by peace – by thought, choice, courage and determination.”
Karakter yang baik lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras) (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007.
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut: munafk, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikan sejumlah ciri utama manusia Indonesia:
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia
Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua. “Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.”
“Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
A. Tidak cukup!
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Istilah adab bisa ditemukan dalam sejumlah hadits Nabi saw. Misalnya, Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Akrimuu auladakum, wa-ahsinuu adabahum.” Artinya, muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka. (HR Ibn Majah). Sejumlah ulama juga menulis kitab terkait dengan adab, seperti al-Mawardi (w. 450 H), menulis Adab ad-Dunya wa ad-Din, Muhammad bin Sahnun at-Tanwukhi (w. 256 H) menulis Adab alMu’allimin wa al-Muta’allimin, juga al-Khatib al-Baghdadi ( w. 463 H) menulis al-Jami’ li-Akhlaq al-Rawi wa Adab as-Sami’.
Menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya konsep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar flsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (ISTAC, 2001).
Adab juga terkait dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang manusia tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan al-Khaliq dengan makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam al-Quran disebutkan, Allah murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya dengan al-Khaliq, padahal dia adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab haruslah meletakkan al-Khaliq pada tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan disamakan dengan makhluq.
Itulah adab kepada Allah swt. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi, beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia saja tidak diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus, diberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi Presiden karena dianggap jika menjadi Presiden akan menjadi orang terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga dapat melakukan perubahan.
Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan martabatnya. Maka, manusia beradab dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat rujukan.
Dengan adab inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya? Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Itulah hakekat dari tujuan pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. Theaim of education inIslam is thereof re to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”
“Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan adab sekaligus!
Moh. Iqbal dengan indah menggambarkan sosok pribadi Muslim yang tangguh karena ketundukannya kepada Allah:
“Biarlah cinta membakar semua ragu dan syak wasangka, Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa.”
BAB III
PRIBADI YANG IDEAL
Pada tahun 1950, Prof. Dr. Hamka, seorang ulama dan sastrawan terkenal Indonesia, pernah menulis sebuah buku menarik tentang pribadi manusia. Judulnya, Pribadi, (Jakarta: Bulan Bintang. 1982, cet. Ke-10). Dengan gaya bahasa yang renyah dan sederhana, Hamka menggambarkan apa dan bagaimana seharusnya sebuah pribadi yang kokoh dan ideal dibangun, pribadi bukanlah semata-mata terkait dengan kehebatan fsik. Kondisi fsik tentu sangat penting, sebab seorang sulit merealisasikan pribadinya, tanpa fsik yang sehat dan kuat. Dalam bukunya, Hamka menyebut sebelas perkara yang membentuk kepribadian seseorang, yaitu, [1] daya penarik, [2] cerdik, [3] timbang rasa, [4] berani, [5] bijaksana, [6] baik pandangan, [7] tahu diri, [8] kesehatan badan, [9], bijak, [10] percaya pada diri sendiri, dan (12) tenang.
Hamka benar dalam hal ini. Keterkaitan antara kesehatan badan dengan kepribadian tidak diragukan lagi. Jika kesehatan terganggu, seseorang tidak leluasa lagi untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja. Ada ungkapan bahasa Latin yang terkenal mens sana in corpore sano (jiwa yang sehat ada dalam tubuh yang sehat). Karena itulah, Rasulullah saw juga memeirntahkan kaum Muslim untuk berolah raga. Imam al-Syafi, misalnya, dikenal sebagai seorang yang ahli dalam olah raga memanah.
Menurut Hamka, dalam rangka membentuk pribadi, jagalah kesehatan! Dan jika terdapat kekurangan pada badan, pada kesehatan janganlah putus asa membangunkan pribadi yang sejati. Sebab, pribadi yang sejati ada pada jiwa manusia. Bukan pada fsiknya. Pepatah Arab menyatakan:
Aqbil ’alan nafsi wastakmil fadhailaha, Fa-anta bin nafsi la biljismi insanu.
Hadapkan perhatian pada jiwa, sempurnakan keutamaannya, Sebab dengan jiwamu, dan bukan dengan badanmu, engkau disebut insane. Salah satu faktor penting pembentuk pribadi ideal adalah sikap berani.
Faktor penting lain pembentuk pribadi yang kokoh adalah sikap bijaksana. Menurut Hamka, orang yang bijaksana adalah orang yang tetap pendapatnya, jauh pandangannya dan baik tafsirnya. Dia dapat menyisihkan mana yang benar dan mana yang salah; memilih mana yang patut dikerjakan dan mana yang patut ditinggalkan. Orang bijak juga kenal akan tempat dan waktu. Alat-alat untuk menumbuhkan bijaksana, ialah: (1) Bersiap dan tidak terburu-buru (2) Ilmu dan pengalaman (3) cerdik cendekia (4) teguh dan tetap hati. Sedangkan yang menghambat tumbuhnya sikap bijaksana ialah (1) terburu-buru (2) terlalu panjang pikir (3) kurang ilmu dan kurang pengalaman (4) salah pikir (berpikir tidak teratur) dan (5) beku, lamban, dan damban.
Sikap lain pembentuk pribadi mulia adalah sikap ”Tahu diri”. Tahu diri, artinya tawadhu’. Ia insaf dimana kedudukan dirinya. Tahu diri bukan merendahkan diri; bukan menghinakan diri; bukan segan dan menyisih-nysihkan diri, sehingga enggan bergaul dengan masyarakat. Orang yang mengangkat dirinya lebih dari pada semestinya, membesar-besarkan diri, tidak tahu mengaku tahu, lama kelamaan juga akan ketahuan. Emas tetaplah emas dan tembaga tetap tembaga. Orang yang tahu diri, tahu akan potensi dan kelemahan dirinya.
Dunia pendidikan Islam di Indonesia banyak yang ikut terjebak pada gejala pragmatisme, dimana banyak anak didik yang memasuki dunia pendidikan semata-mata hanya untuk mengejar ijazah sebagai alat mencari kerja. Kampus atau sekolah tidak lagi menjadi tempat ideal untuk mencari ilmu. Padahal, pendidikan adalah adalah tempat untuk mencari ilmu. Konsep ilmu dalam Islam bukan hanya untuk dihafal, tetapi untuk diamalkan. Banyak siswa belajar materi aqidah dengan tujuan agar dapat menjawab soal. Karena itulah, yang kemudian dilakukannya adalah menghafal materi sekedar untuk menjawab soal, tanpa penghayatan dan niat pengamalan. Begitu juga saat belajar materi syariah, metode yang digunakan adalah hafalan untuk menjawab soal ujian.
Model pembelajaran semacam itu tidak akan berdampak pada pembentukan pribadi yang unggul. Akhirnya, karena desakan kepentingan sesaat, banyak sekolah terpaksa berkompromi dengan realitas. Pendidikan akhirnya tidak dapat memasang target ideal, tetapi menuruti kemauan siswa sekedar lulus dan mendapatkan ijazah. Siswa dianggap sebagap customer, pelanggan, yang harus dituruti kemauannya. Padahal, Pendidikan Islam, selain bertujuan menambah ilmu, juga bertujuan membentuk sikap, karakter, dan pribadi yang mulia.
BAB IV
MEMBANGUN TRADISI ILMU DALAM ISLAM
”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi AlKitab kecuali sesudah datang pengetahuan (’ilm) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) diantara mereka. Barangsiapa yang kafr terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (ali iMran [3] :18-19).
A. Keutamaan mencari ilmu (belajar)
Kaum Muslimin wajib memanfaatkan dengan sekuat tenaga untuk mencari ilmu (thalabul ilmi). Selain pahalanya yang sangat besar, ilmu juga menjadi landasan keimanan dan landasan amal. Banyak orang yang terpedaya dengan nikmat sehat dan kelonggaran, sehingga tidak dapat memanfaatkan waktu itu dengan baik. Rasulullah saw bersabda:
“Dua kenikmatan yang manusia banyak tertipu, yaitu nikmat kesehatan dan nikmat waktu lapang.” (HR Bukhari).
Padahal, kedudukan ilmu sangatlah sentral dalam Islam, sehingga Allah memerintahkan agar aktivitas mencari ilmu itu tidak boleh berhenti, walaupun dalam kondisi perang sekali pun. ”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu tentang agama.” (QS atTaubah: 122).
B. Tradisi Ilmu Dalam Islam
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi tradisi ilmu dan sangat menghargai ilmu. Suatu saat Sayyidina Ali didatangi beberapa orang dan menanyakan manakah yang lebih mulia ilmu atau harta. Ali r.aa menjawab: Lebih mulia ilmu. Ilmu menjagamu, harta kamu harus menjaganya. Ilmu bila kamu berikan bertambah, harta berkurang. Ilmu warisan para Nabi, harta warisan Firaun dan Qarun. Ilmu menjadikan kamu bersatu harta biasa membuat kamu berpecah belah dan seterusnya.
Mengapa ilmu? Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.
Tradisi ilmu yang didorong oleh ayat-ayat al-Quran telah berhasil mengubah sahabat-sahabat Nabi saw dari orangorang jahiliyah menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan berakhlak mulia; mengubah generasi-generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam pergolakan dunia, menjadi pemimpin-pemimpin kelas dunia yang disegani di seluruh kawasan dunia saat itu.
Tradisi baca dan tulis-menulis begitu hidup dalam masyarakat, yang sebelumnya didominasi tradisi lisan. Tiap ayat Al-Quran turun, Rasulullah saw memerintahkan kepada sahabat dekatnya untuk menulis. Bahkan tradisi membaca dan menulis ini menjadi simbol kemuliaan seseorang. Rasulullah menjadikan pelajaran baca tulis sebagai tebusan tawanan Badar.
C. Al-Quran Menjadi Dasar
Prestasi-prestasi besar kaum Muslim di bidang kehidupan dan keilmuan tidaklah terpisah dari dorongan besar yang diberikan Kitab Suci al-Quran dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah Kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya, tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali. Bahkan, yang diajarkan pertama kali kepada Nabi Adam a.s. adalah pengetahuan tentang nama-nama benda (QS 2:31). Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berkaitan dengan perintah membaca (Iqra’) dan menulis yang disimbolkan dengan ”pena” (qalam). Wahyu ini pun sudah berbicara tentang proses penciptaan manusia yang berasal dari ”al-alaq” (sesuatu yang melekat). Tetapi, sejak awal, sudah diingatkan, bahwa proses membaca dan belajar tidak boleh dipisahkan dari dasar keimanan.
Al-Quran memuat banyak sekali ayat-ayat yang mendorong kaum Muslimin untuk senantiasa meningkatkan keilmuannya. Bahkan, aktivitas sehari-hari, haruslah ditandai dengan aktivitas keilmuan atau yang terkait dengan ilmu. Karena itu, al-Quran sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu, beberapa derajat.” (alMijâdilah [58] :11).
Karena itulah, Allah mengecam keras orang-orang yang tidak menggunakan segala potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu. Orang-orang seperti ini, dalam Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-a’râf [7] :179).
Karena itulah, setiap Muslim wajib menyibukkan dirinya dalam urusan keilmuan, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah saw: “Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” Mudah-mudahan kita dapat memenuhi kewajiban kita dengan baik, sehingga tidak menyesal di Hari Akhir nanti. Dengan ilmu, kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jangan sampai, kita termasuk orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya, karena menganggap amalnya baik, padahal yang dia lakukan adalah sebaliknya (QS 18:103-105).

BAB V
TRADISI ILMU: ASAS KEBANGKITAN PERADABAN
sebagai bangsa yang sedang “menggeliat” dalam keterpurukan yang berkepanjangan, buku ini sangat baik untuk bahan renungan tentang sejarah dan perjalanan bangsa Indonesia. Apakah budaya ilmu yang melandasi sejarah dan arah perjalanan bangsa Indonesia, atau budaya yang berlawanan, yaitu “budaya jahil”. Jika terlalu banyak dana dihamburkan untuk membangun patung, monumen, pelesiran, dan berbagai fasilitas hiburan, dibandingkan anggaran pendidikan, itu diantara pertanda bahwa budaya ilmu masih jauh dari tradisi bangsa itu. Dan sejarah menunjukkan, budaya jahil tidak pernah membangkitkan satu peradaban.
A. Peradaban Yang Unik
Tradisi ilmu yang unik dalam Islam, juga melahirkan sebuah peradaban yang unik, yaitu Peradaban Islam. Peradaban ini adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah.
Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad saw justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah saw juga memperingatkan dengan keras:
”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.”
Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi.
Untuk membangun peradaban Islam, menurut al-Attas, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yang disebutnya sebagai “ta’dib”. Tujuan utamanya, membentuk manusia yang beradab, manusia yang mempunyai adab. Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah swt dan ‘meletakkan’-Nya di tempatNya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan.
BAB VI
ILMU DAN KEBAHAGIAAN
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus TheOxford English Dictionary (1963) mendefinsikan ”happiness” sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affir; success, prosperity.” Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya temporal dan kondisional. dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinsikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:
”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fkri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fkiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan , bahwa ”Tiada Tuhan selain Allah” (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ”ayat-ayat-Nya”, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ”ayat”, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.
BAB VII
ULAMA DAN KORUPSI ILMU
A. Tugas ulama
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: ”Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah). Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafi, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su’). Kata Nabi saw: ”Seburukburuk manusia adalah ulama yang buruk.”
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ’ulama dunia’.
Padahal, para ulama itu menduduki posisi yang sangat mulia di tengah umat, yaitu sebagai pewaris para nabi. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan, bahwa penghuni langit dan bumi senantiasa memohonkan ampun bagi orang ’alim. Orang yang alim dan bertaqwa kepada Allah pasti akan dijamin oleh Allah swt. Jika para ulama benar-benar menjalankan amanah risalah dalam menolong agama Allah, pasti Allah akan menolong mereka dan meneguhkan kedudukan mereka. (QS 47:7).
B. Kemungkaran Ilmu
Salah satu kewajiban penting yang diamanahkan oleh Rasulullah saw kepada kaum Muslim, dan khususnya kepada para pewaris nabi, yakni para ulama, adalah “al amru bil ma’ruf dan alnahyu ‘anil munkar” (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran). Secara umum, kaum Muslim wajib mendukung tegaknya kebaikan dan melawan kemungkaran. Tugas ini wajib dilakukan oleh seluruh kaum Muslimin, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sebab, Rasulullah saw sudah mengingatkan, agar siapa pun jika melihat kemungkaran, maka ia harus mengubah dengan tangan, dengan lisan, atau dengan hati, sesuai kapasitasnya. Namun, secara kolektif, umat juga diwajibkan melakukan aktivitas ini secara jama’iy. Sebab, ada hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan secara individual (fardiy).
langkah pertama setelah menyadari begitu pentingnya melakukan perlawanan terhadap kemungkaran, adalah memahami tentang ‘kemungkaran’ itu sendiri. Yang mana yang dimaksud dengan munkar. Kemudian, setelah paham, sesuai dengan ‘fiqul awlawiyyat’ (fiqhprioritas), dilakukan pemetaan dan skala prioritas, kemungkaran mana yang wajib diperangi terlebih dulu. Saat ini begitu banyak kemungkaran bertebaran di muka bumi. Melalui media televisi, sebagian kemungkaran itu menyelusup masuk ke pojok-pojok kamar kita, tanpa permisi. kemungkaran di bidang aqidah Islamiyah. Yakni, kemungkaran yang mengubah dasar-dasar Islam. Inilah kemungkaran yang berawal dari kerusakan ilmu-ilmu Islam, yang menyangkut asas-asas pokok dalam Islam. Kemungkaran jenis ini jauh lebih dahsyat dari kemungkaran di bidang amal. Dosa orang yang mengingkari kewajiban salat lima waktu, lebih besar daripada dosa orang yang meninggalkan salat karena malas, tetapi masih meyakini kewajiban salat. Dosa orang yang menjadi pelacur masih lebih ringan dibandingkan dengan orang yang mengkampanyekan paham, bahwa menjadi pelacur adalah tindakan mulia. Karena itu, adalah merupakan tindakan kemungkaran yang sangat serius.
“Kemungkaran ilmu” merupakan kemungkaran yang terbesar dalam perspektif Islam. Sebab, jika ilmu salah, maka akan muncul ulama yang salah. Jika ulama salah, maka umara (penguasa) dan umat pun akan salah. Kemungkaran ilmu adalah sumber kesalahan asasi dalam Islam. Ilmu yang salah mengacaukan batas antara alhaq dan al-bathil. Orang yang bathil tidak menemukan jalan untuk bertaubat, sebab dia merasa apa yang dilakukannya adalah tindakan yang baik.
BAB XII
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM: SALAH DIAGNOSA, SALAH OBAT!
A. Misi Siapa?
Misi yang sedang diemban oleh lembaga lembaga penelitian dan pendidikan Islam yang menjadi agen dari pemikiran dan kepentingan Barat. Dalam website PPIM-UIN Jakarta (www.ppim.or.id) dapat dilihat dafar mitra kerja dari lembaga ini, diantaranya: AUSAID, US embassy, Te Asia Foundation, Te Ford Foundation, dan sebagainya.
Berangkat dari hasil penelitian tersebut, sedang diusahakan penyiapan guru-guru agama yang pluralis di sejumlah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Tampaknya, ini sangat sesuai dengan isi memo Menhan AS Donald Rusmsfeld, pada 16 Oktober 2003: “AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka. (Harian Republika, 3/12/2005).
AS dan kawan-kawan memang sangat serius dalam menggarap pendidikan Islam di Indonesia. Umat Islam harusnya sadar akan tantangan besar yang mereka hadapi. Ini menyangkut masalah aqidah; menyangkut soal hidup dan mati umat Islam Indonesia di masa depan. Jangan sampai umat salah langkah dalam merespon tantangan di bidang pemikiran dan pendidikan ini. Dibalik isu besar untuk melakukan program ”deradikalisasi” Islam, kadangkala disusupi proyek liberalisasi pendidikan Islam. Ini tentu keliru, karena salah diagnosa dan akhirnya juga salah obat. Padahal, yang menjadi persoalan utama pada pendidikan Islam – yang harusnya sudah diatasi oleh para pejabat Pendidikan Islam – adalah soal kualitas guru dan kualitas buku pelajaran Agama Islam. Soal ekstrimisme pada sebagian kalangan Muslim, memang harus diakui ada. Tetapi, itu bukan arus mainstream. Biasanya, hal itu merupakan ekses dari ketidakadilan global; bukan terutama diakibatkan oleh corak pemahaman keagamaan tertentu. Simaklah fakta kualitas pendidikan agama Islam di berbagai sekolah dan Perguruan Tinggi.
B. Soal Kualitas
Cara menyajikan sejarah para ulama Indonesia seperti itu sangatlah tidak bijak, sebab terlalu mudah mengecilkan karya-karya mereka. Hingga kini, ratusan karya tulis para ulama itu masih bisa dikaji dan terus menjadi bahan penelitian di berbagai universitas di dunia. Menyamakan kedudukan Siti Jenar dengan walisongo yang lain juga kekeliruan dan kecerobohan. Penulis buku Pendidikan Agama Islam ini pun tampak begitu sengit dengan paham tasawuf, tanpa melalukan penelitian yang mendalam tentang apa itu tasawuf. Sultan Muhammad al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel tahun 1453 adalah pengikut tasawuf.
Jika ulama-ulama di Nusantara itu dikecilkan semua kualitas keilmuannya, maka siapa lagi yang dipandang berjasa menyebarkan Islam di Indonesia. Bentuk pengajaran sejarah Islam seperti ini, sangatlah tidak mendidik para siswa SMA untuk mencintai khazanah Islam Indonesia. Harusnya, diberikan contoh karya ulama-ulama Nusantara dalam berbagai bidang keilmuan, agar para siswa nantinya berminat menekuni bidang sejarah Islam dan bangga sebagai Muslim Indonesia yang memiliki sejarah yang gemilang. Dari paparan tentang sejarah Islam Indonesia tersebut, tampak jelas, bahwa si penulis buku Pendidikan Agama Islam ini tidak mempunyai visi dan misi yang jelas tentang sejarah Islam.
Problem utama pendidikan agama Islam ini perlu dicermati dengan secermat-cermatnya, dengan perspektif dan niat yang benar. Jika salah mendiagnosa dan salah memakai ”kacamata”, maka resep yang akan diberikan juga pasti akan keliru. Contohnya, adalah upaya sebagian kalangan untuk mengembangkan Pendidikan Agama Islam berbasiskan paham multikulturalisme, bukan berbasiskan Tauhid Islam lagi. Ujung-ujungnya, para peserta didik diajak untuk tidak meyakini kebenaran Islam, tetapi didorong untuk meyakini kebenaran semua agama.
C. Salah Diagnose, Salah Obat!
“Menumbuhkan minat studi agama di luar keyakinan agama yang kita anut bisa menjadi solusi untuk dapat saling memahami dan tentunya bersikap adil dalam bersikap. Karena menurut saya munculnya klaim kebenaran eksklusif itu dipicu oleh pola pemahaman terhadap agama dan para penganut agama lainnya yang terkadang keliru. Diantara penyebabnya adalah adanya uraian bias yang disuarakan oleh para “elite agama” dalam menyuarakan dan mendoktrinkan bahwa hanya pada agama yang dianutnyalah satu-satunya jalan kebenaran dan agama lainnya sebagai jalan yang menyimpang.”
Suara-suara yang mendorong agar umat beragama menghilangkan klaim kebenaran eksklusif atas agamanya sendiri, sudah mulai banyak terdengar di Indonesia.
berbagai proyek studi agama-agama telah mulai mengadopsi metode Barat. Dasar pijakannya adalah sikap netral agama. Padahal, gagasan semacam ini tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta. Kerukunan beragama tidak harus diciptakan dengan penghapusan klaim kebenaran eksklusif dari tiap pemeluk agama. Soal keyakinan eksklusif pasti ada pada tiap agama. Keyakinan yang berbenturan satu dengan yang lain, bukan berarti pasti akan memunculkan konflk antar umat beragama. Justru kerukunan harus tercipta atas keragaman keyakinan yang ada. Keyakinan masing-masing harus dihormati, bukan dibenarkan. Sebab, itu tidak mungkin.
Menurut hemat saya, sebagai seorang Muslim, seorang ilmuwan Muslim seharusnya senantiasa melihat sesuatu dalam sudut pandang Islam (Islamic worldview), termasuk ketika melihat agama-agama lain. Ini berbeda dengan ilmuwan sekular yang melihat agama-agama pada posisi netral agama, yang tidak bersandar pada pandangan satu agama tertentu. Dalam pandangan Islam, keimanan kepada Nabi Muhammad saw memegang posisi sentral bagi bangunan keimanan dan pemikiran seorang Muslim. Tanpa keimanan kepada Nabi Muhammad saw, tidak mungkin seorang mengenal Allah dengan benar, dan tidak mungkin tahu bagaimana cara beribadah kepada Allah yang benar. Artinya, syariat yang benar adalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Jadi untuk menuju Allah, maka jalan yang benar adalah mengikuti syariat Nabi Muhammad saw. Itulah keyakinan Islam. Sangat keliru jika seorang Muslim menyatakan, bahwa semua agama – apapun cara ibadahnya – adalah sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Padahal, syahadat orang Muslim sudah menegaskan, bahwa ”Tidak ada Tuhan selain Allah”. Ini artinya, seorang Muslim harus menyembah satu-satunya Tuhan, yaitu Allah, bukan Yahweh, bukan Lata, bukan Uzza, bukan Setan, dan bukan Tuyul. Jika ada agama yang memiliki ritual penyembahan Tuyul atau menyembah Tuhan dengan cara telanjang sambil berjalan mengelilingi kampus, maka ibadah seperti itu pasti batil, karena tidak sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw. Seorang ilmuwan Muslim mestinya merenungkan, ketika dia melihat agama-agama selain Islam, di mana dia berdiri? Apakah berdiri di atas dasar agamanya atau dia berdiri di atas titik yang netral agama?
Sebenarnya, sudah sangat banyak kritik terhadap gagasan KTAA. Tetapi, sang profesor sepertinya tidak mau tahu. Bahkan, dia menulis: ”Upaya mencari titik temu antar pelbagai kelompok agama secara lebih mendasar dikembangkan oleh seorang tokoh mistikus kontemporer Frithjop Schuon (1984). Gagasan Frithjop Schuon dikatakan lebih mendasar karena menjadikan dimensi transendental agam-agama. Bagi Frithjop Schuon, di balik perbedaan pada masingmasing agama, tetap ada peluang dipertemukan mengingat kesamaan pada dimensi transendentalnya. Semua agama, apapun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya), kata Frithjop Schuon, berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoterik agama, sekaligus jantung semua agama (the heart of religion).” (hal. 46).
Cobalah kita renungkan pemikiran sang professor yang begitu menggebu-gebu mengadopsi gagasan KTAA, untuk mencari-cari titik temu agama-agama Gagasan itu sebenarnya adalah murni khayalan dan sebuah ungkapan yang asbun (asal bunyi). Ketika sang professor menyatakan, “semua agama” cobalah kita tanya pada dia, benarkah dia sudah meneliti “semua agama” yang ada? Bukankah di dunia ini ada ribuan agama? Agama apa saja yang sudah ditelitinya? Jadi, ucapan “semua agama” begini atau begitu adalah sebuah ungkapan”asbun”, meskipun keluar dari mulut seorang profesor.
Teori KTAA juga sangat naïf dan absurd, karena tidak
(tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya) dan lebih mementingkan aspek esoterik. Untuk melihat kebatilan teori semacam itu, maka kita tidak perlu menjadi seorang professor. Sebab, kebatilannya sangat jelas. Dalam Islam, aspek syariat (eksoterik) sangat penting. Bentuk ibadah adalah hal yang sangat mendasar dalam Islam. Islam tidak memisahkan aspek eksoterik dan aspek esoteric. Islam secara tegas menolak bentuk ibadah yang sah, selain yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Justru salah satu misi utama diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk memberi petunjuk kepada manusia tentang bagaimana cara beribadah yang benar. Beliau diutus untuk semua manusia, sebagai uswah hasanah. Misi Nabi Muhammad saw bukan hanya ditujukan untuk orang Islam saja. Jadi, dalam Islam, aspek eksoterik dan esoteric adalah sama-sama penting. Menurut Islam, untuk menggapai esoterik yang benar, maka seseorang juga harus menjalankan tata cara ibadah yang benar, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Inilah perspektif Tauhid dalam melihat agama-agama. Jika prinsip Tauhid ini hendak digusur dari pengajaran Studi Agama di Perguruan Tinggi Islam – dan digantikan dengan perspektif multikulturalisme dan KTAA seperti gagasan sang profesor tersebut — maka pada hekikatnya, itu sama saja dengan pembubaran Islam itu sendiri.
Ini contoh lain, bagaimana kekeliruan dalam melakukan diagnosa, yang pada akhirnya memberikan resep yang juga keliru. Semoga kekeliruan semacam ini tidak dilanjutkan. Sebab, sungguh tragis nasib Pendidikan Agama Islam di Indonesia, jika guru-guru agama berpikiran semacam ini.

Link list

About